H Imron Mina sukses mengembangkan usaha produksi tenun sutera setelah sempat jatuh bangun dalam berbisnis. Seperti kebanyakan pengusaha lain, H Imron Mina juga mengalami jatuh bangun mengembangkan bisnis. Dari sana dia banyak belajar dan memetik pengalaman sebelum akhirnya sukses berbisnis tenun sutera.
Tipikal pekerja keras, gigih, dan konsisten. Itulah kesan pertama dari sosok pria yang akrab disapa H Imron ini. Semangat juang meraih kehidupan yang lebih baik mengantarkannya hingga menjadi seperti sekarang.
Imron berkisah, perjalanan hidupnya dalam dunia wirausaha dimulai pada 1992. Waktu itu Imron yang berlatar belakang seorang pendidik memutuskan menjadi peternak ayam lantaran merasa sulit mendapatkan pekerjaan sesuai bidangnya.
Usaha ternak kecil-kecilan yang dirintis Imron tak dinyana berkembang pesat. Dia memiliki beberapa lokasi ternak ayam yang menjadi mata pencahariannya. Dia juga mampu mempekerjakan beberapa karyawan.
Merasa usaha ternaknya berhasil, Imron pun mencoba peruntungan lain dengan menjadi distributor pakan ayam. Pria ramah ini kebetulan memiliki kenalan yang bekerja di sebuah perusahaan pakan ternak.
Tak perlu menunggu lama, Imron pun terjun ke bisnis pakan ternak. Memanfaatkan jaringan dan pertemanan sesama peternak ayam di sekitar tempat tinggalnya di Pekalongan, Jawa Tengah, usaha distributor pakan yang dilakoni Imron berkembang pesat. Bisa dikata, dia mendapat sukses ganda, sebagai peternak ayam sekaligus distributor pakan.
Sayang, di tengah kemujuran demi kemujuran yang dialami ayah lima anak tersebut, prahara tiba-tiba menghantam sumber mata pencahariannya. Krisis moneter pada 1997 melumpuhkan usaha yang dibangunnya. Usaha ternak ayam dan distributor pakannya bangkrut. ”Semua peternak ayam yang menjadi mitra dan teman-teman saya semua bangkrut terkena krisis,” kenangnya.
Bangkrut di tengah-tengah kejayaan usaha tentu menjadi pukulan telak bagi Imron. Dia mengaku sempat dihinggapi rasa putus asa. Beban mental harus dia tanggung. Terlebih Imron juga harus memikirkan nasib keluarganya. Beruntung, di tengah situasi tidak menguntungkan tersebut, mukjizat seolah-olah datang.
Dia yang selama ini tak pernah memerhatikan alat tenun bukan mesin (ATBM) peninggalan ayahnya tiba-tiba tertarik untuk melihatnya. Nalurinya sebagai seorang wirausaha tulen terbuka.
”Kenapa saya tidak mengembangkan usaha tenun saja ya?” katanya dalam hati waktu itu. Bermodalkan semangat dan optimisme, dia pun mencoba memulai peruntungan di usaha tenun.
Dia mengumpulkan beberapa warga yang tinggal di sekitar rumahnya untuk membuat kain tenun. Pada 1990-an usaha tenun di Pekalongan, utamanya tenun akar wangi dan enceng gondok, memang telah tumbuh. Namun, usaha tersebut tidak begitu menggembirakan perkembangannya lantaran kalah pamor dari batik.
Imron yang merasa memiliki pengalaman di bidang pemasaran lalu mencoba memasarkan hasilhasil tenun akar wangi produk Pekalongan. Upaya suami Hj Minnatuzzulfa itu ternyata membuahkan hasil. Tangan dinginnya berhasil membawa produk tenun akar wangi Pekalongan menembus pasar Nusantara, bahkan dunia.
”Kalau wilayah Indonesia hampir semua. Produk saya juga diminati konsumen Jepang, Malaysia,Taiwan, Arab Saudi, Kuwait, Eropa, dan Amerika,” ungkap Imron.
Hingga sekarang produk tenun akar wangi yang biasa dimanfaatkan sebagai alas lantai, tirai, sajadah, taplak meja, tempat koran, sepatu, sandal, atau kerajinan lainnya itu juga merambah pasar Timur Tengah. Tiap bulan tak kurang 2.500 pieces barang dikirim ke sana. Sukses dengan tenun akar wangi, Imron mengembangkan usahanya dengan membuat tenun sutera.
Mengusung brand usaha Pirsa Art Tenun, dia pun mulai memproduksi kain-kain tenun dari bahan sutera. Pirsa Art mulai dikembangkan pada 2009. Meski baru berumur setahun, tenun sutera produksi Pirsa Art yang menggunakan alat tenun bukan mesin dan bahan baku benang sutera impor berkualitas tinggi dari China itu dengan cepat dikenal masyarakat.
Semua itu lantaran produk tenun sutera produksi Pirsa Art sempat dikenakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada sebuah acara. ”Saya lupa persisnya kapan Pak SBY memakai produk saya, tapi produk saya memang pernah dipakai beliau,” katanya bangga.
Dari sana tenun sutera produksi Imron dikenal luas masyarakat dengan sebutan ”Tenun Sutera SBY”. Gara-gara dikenakan orang nomor satu di Indonesia tersebut, tenun sutera produksi Imron menjadi idola pejabat. ”Produk saya banyak dikenakan pejabat,” tutur Imron.
Ciri khas yang melekat pada tenun sutera produk Pirsa Art adalah pada motif dan desainnya yang elegan. Ditambah bahan sutera terbaik, kombinasi itu menjadikan tenun sutera Pirsa Art memiliki pasar tersendiri.
Untuk tiap helai kain sutera sebelum dijahit menjadi baju, Imron memasang banderol antara Rp1 juta hingga Rp1,5 juta. Jika konsumen menginginkan langsung menjadi baju, biayanya ditambah ongkos jahit Rp500.000.
Melihat perkembangan kain tenun sutera yang menjanjikan, Imron kini lebih memfokuskan dalam produksi tenun sutera.Ada 35 perajin yang memproduksi tenun sutera. Adapun 100 orang perajin lainnya yang khusus mengerjakan kerajinan akar wangi.
Dari perkembangan usahanya tersebut, Imron mengaku tiap bulan dapat mengantongi omzet sekira Rp500 juta. Imron menyebut, usahanya bisa maju seperti sekarang tak lepas dari peran Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Baginya, Bank BRI seperti bapak angkat. Bank BRI setidaknya sudah memberikan bantuan modal untuk mengangkat usaha Imron, dari yang awalnya di bawah Rp10 juta hingga sekarang mencapai di atas Rp700 juta.
”Bagi saya Bank BRI seperti ayah saya. Selain fasilitas kredit, mereka juga memberikan fasilitas lain seperti pameran, pelatihan, dan sebagainya,” papar Imron. Pameran Inacraft 2010 beberapa waktu lalu menjadi bukti komitmen Bank BRI turut mengangkat UKM binaan, termasuk Pirsa Art.
Sejauh ini bukan prestasi secara materi dan kepercayaan saja yang didapat Pirsa Art melalui kreasi produknya. Pirsa Art juga pernah beberapa kali memenangi penghargaan. Salah satu yang paling menonjol adalah penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (Muri) sebagai ”Pembuat Tenun Terpanjang Tanpa Sambungan Tahun 2007” dengan panjang 175,26 meter dan 24 motif.