dipercaya sebagai pintu masuk ke sebuah bangunan suci, yaitu pura tempat penyimpanan abu Jayanegara.
setelah dipugar:
Kolam Segaran
Kolam seluas 800 x 500 meter ini jaman dahulu digunakan sebagai tempat rekreasi dan cadangan air kota. ada juga yang mengatakan sebagai tempat pelatihan prajurit angkatan laut Majapahit.
Candi Brahu
Merupakan tempat perabuan/pembakaran jenazah empat raja Majapahit.
Sebelum dipugar:
setelah dipugar:
Candi Kedaton
Merupakan sisa2 pondasi dari bangunan. Mungkin juga bagian dari keraton Majapahit.
kutipan Negarakertagama tentang deskripsi ibukota Majapahit saat itu:
Tersebut keajaiban kota : tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura.
Pintu barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit.
Pohon brahmastana berkaki bodi berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam.
Di situlah tempat tunggu para tanda terus menerus meronda jaga paseban.
Di sebelah utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir.
Di sebelah timur : panggung luhur, lantainya berlapis batu putih-putih mengkilat.
Di bagian utara, di selatan pekan rumah berjejal jauh memanjang sangat indah.
Di selatan jalan perempat : balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.
Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan. Yang meluas ke empat arah, bagian utara paseban pujangga dan Mahamantri Agung. Bagian timur paseban pendeta Siwa-Buda yang bertugas membahas upacara.
Pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia.
Di sebelah timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa.
Di selatan tempat tinggal wipra utama tinggi bertingkat menghadap panggung korban. Bertegak di halaman sebelah barat, di utara tempat Buda bersusun tiga.
Puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.
Di dalam, sebelah selatan Manguntur tersekat dengan pintu, itulah paseban.
Rumah bagus berjajar mengapit jalan ke barat, disela tanjung berbunga lebat.
Agak jauh di sebelah barat daya: panggung tempat berkeliaran para perwira.
Tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.
Di dalam di selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar pura yang kedua.
Dibuat bertingkat tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri.
Semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela.
Para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.
Inilah para penghadap : pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang, Nyu Gading Jenggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi, tanpa upama.
Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang, Jayagung dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak lagi.
Begini keindahan lapangan watangan luas bagaikan tak berbatas.
Mahamantri Agung, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka. Bayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua.
Di sebelah utara pintu istana di selatan satria dan pujangga.
Di bagian barat : beberapa balai memanjang sampai mercudesa.
Penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga.
Di bagian selatan agak jauh: beberapa ruang, mandapa dan balai.
Tempat tinggal abdi Sri Baginda Paguhan bertugas menghadap.
Masuk pintu kedua, terbentang halaman istana berseri-seri.
Rata dan luas dengan rumah indah berisi kursi-kursi berhias.
Di sebelah timur menjulang rumah tinggi berhias lambang kerajaan itulah balai tempat terima tatamu Srinata di Wilwatikta.
Inilah pembesar yang sering menghadap di balai witana : Wredamentri, tanda Mahamantri Agung, pasangguhan dengan pengiring Sang Panca Wilwatikta : mapatih, demung, kanuruhan, rangga.
Tumenggung lima priyayi agung yang akrab dengan istana.
Semua patih, demung negara bawahan dan pengalasan.
Semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh.
Jika datang berkumpul di kepatihan seluruh negara lima Mahamantri Agung, utama yang mengawal urusan negara.
Satria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana.
Begitu juga dua darmadyaksa dan tujuh pembantunya.
Bergelar arya, tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan.
Itulah penghadap balai witana, tempat takhta yang terhias serba bergas.
Pantangan masuk ke dalam istana timur agak jauh dan pintu pertama.
Ke Istana Selatan, tempat Singa Wardana, permaisuri, putra dan putrinya.
Ke Istana Utara. tempat Kerta Wardana.
Ketiganya bagai kahyangan semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni Cakinya dari batu merah pating berunjul, bergambar aneka lukisan.
Genting atapnya bersemarak serba meresapkan pandang menarik perhatian.
Bunga tanjung kesara, campaka dan lain-lainnya terpencar di halaman.
Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng.
Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja.
Selatan Buda-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka.
Barat tempat para arya Mahamantri Agung dan sanak-kadang adiraja.
Di timur tersekat lapangan menjulang istana ajaib.
Raja Wengker dan rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci.
Berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem.
Tak jauh di sebelah selatan raja Wilwatikta.
Di sebelah utara pasar: rumah besar bagus lagi tinggi.
Di situ menetap patih Daha, adinda Sri Paduka di Wengker.
Batara Narpati, termashur sebagai tulang punggung praja.
Cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
Di timur laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada.
Mahamantri Agung wira, bijaksana, setia bakti kepada negara.
Fasih bicara, teguh tangkas, tenang, tegas, cerdik lagi jujur.
Tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.
Sebelah selatan puri, gedung kejaksaan tinggi bagus.
Sebelah timur perumahan Siwa, sebelah barat Buda.
Terlangkahi rumah para Mahamantri Agung, para arya dan satria.
Perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.
Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang-cemerlang.
Menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama.
Negara-negara di nusantara dengan Daha bagai pemuka.
Tunduk menengadah, berlindung di bawah kuasa Wilwatikta.
Candi Jedong
Berada di desa Wotanmas Jedong, Ngoro, Mojokerto. Bangunan ini sebenarnya adalah pintu gerbang. Ada dua buah pintu yang masih ada dan terawat baik saat ini. Daerah Wotanmas adalah daerah perdikan Siwa pada masa Majapahit.
Ini ditulis juga oleh Prapanca dalam Negarakertagama :
“Kwi ni darmalpas/pratista Ciwa Mukya Kuti Balay I Kanci len Kapulungan, Roma, Wwatan Iswara Ghraha……… .
Artinya:
“Desa Perdikan Siwa yang bebas dari pajak, desa biara Kanchi, Kapulungan, Roma, Wwatan Iswara ghraha…….. (Slamet Mulyana 1977).
Wwatan sekarang menjadi Wotanmas
Gerbang I
Berbentuk Paduraksa (atap menyatu jadi satu dengan pintu di tengah2), panjang 12,5 m, lebar 5,19 m, tinggi 9,7 meter terbuat batu andesit. Gerbang pertama mempunyai tiga bagian, yaitu kaki, badan dan atap. Gerbang ini mempunyai tembok memanjang di kanan kirinya yang dulunya menyatu dengan gerbang yang lain. Terdapat candra sangkala Brahmana Nora Kaya Bhumi atau th 1307 saka (1385 M).
Gerbang II
Juga berbentuk Paduraksa, dengan dimensi yang agak lebih kecil dari Gerbang pertama. Panjang 6.8 m, lebar 3.4 m, dan tinggi 7.7 m. Juga terbuat dari batu andesit. Tidak ada candra sengkala di gerbang ini, tapi diperkirakan dibangun tahun 1378 saka (1456 M). Karena bentuk ukiran dan konstruksi gerbang tersebut baru digunakan setelah tahun 1326 saka.
Candi Ijo
Adalah candi Hindu yang berada tidak jauh dari Candi Ratu Boko atau kita-kira 18 km di sebelah timur kota Yogyakarta. Candi ini dibangun pada abad ke-9 pada saat zaman Kerajaan Mataram Kuno, dan terletak pada ketinggian 410 meter di atas permukaan laut. Karena berada di atas bukit yang disebut Gumuk Ijo, maka pemandangan di sekitar candi sangat indah, terutama kalau melihat ke arah barat akan terlihat wilayah persawahan dan Bandara Adisucipto.
Candi ini merupakan kompleks 17 buah bangunan yang berada pada sebelas teras berundak. Pada bagian pintu masuk terdapat ukiran kala makara, berupa mulut raksasa (kala) yang berbadan naga (makara), seperti yang nampak pada pintu masuk Candi Borobudur. Dalam kompleks candi ini terdapat tiga candi perwara yang menunjukkan penghormatan masyarakat Hindu kepada Trimurti: Brahma, Wisnu, dan Syiwa (wikipedia)
Menuju bangunan candi perwara di teras ke-11, terdapat sebuah tempat seperti bak tempat api pengorbanan (homa). Tepat di bagian atas tembok belakang bak tersebut terdapat lubang-lubang udara atau ventilasi berbentuk jajaran genjang dan segitiga. Adanya tempat api pengorbanan merupakan cermin masyarakat Hindu yang memuja Brahma. Tiga candi perwara menunjukkan penghormatan masyarakat pada Hindu Trimurti, yaitu Brahma, Siwa, dan Whisnu.
Salah satu karya yang menyimpan misteri adalah dua buah prasasti yang terletak di bangunan candi pada teras ke-9. Salah satu prasasti yang diberi kode F bertuliskan Guywan atau Bluyutan berarti pertapaan. Prasasti lain yang terbuat dari batu berukuran tinggi 14 cm dan tebal 9 cm memuat mantra-mantra yang diperkirakan berupa kutukan. Mantra tersebut ditulis sebanyak 16 kali dan diantaranya yang terbaca adalah "Om Sarwwawinasa, Sarwwawinasa." Bisa jadi, kedua prasasti tersebut erat dengan terjadinya peristiwa tertentu di Jawa saat itu. Apakah peristiwanya? Hingga kini belum terkuak.
Situs Purba Sokoliman
Batu-batu Bisu Sepanjang Zaman
Situs Sokoliman terletak di Dusun Sokoliman, Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo, Gunungkidul. Sejumlah barang yang ditemukan menunjukkan daerah ini sudah dihuni manusia sejak sekitar 2000 sebelum Masehi. Di situs ini ditemukan sejumlah barang peninggalan zaman Megalitikum antara lain Arca, Menhir, Kubur Batu, dan kumpulan batu-batu lainnya. Menhir ditemukan di tanah lapang Sokoliman. Batu tersebut diperkirakan tempat pemujaan manusia pada masa itu dan simbol kekuasaan atau kejadian tertentu, misalnya perang.
Jumlah batu yang ada sekitar 140 buah. Lima diantaranya lebih besar dari yang lain, dan ini disebut Saka Lima yang artinya tiang yang jumlahnya lima. Mungkin inilah yang menjadi sumber nama daerah yakni Sokoliman yang berasal dari kata Soko dan Lima.
Sedang arca yang ditemukan berupa kepala megalitik di sekitar kubur batu dan alun-alun. Patung tersebut dipahat dengan polos, tanpa hiasan apapun sehingga menunjukkan ciri dari zaman megalitikum.
Peninggalan yang lain berupa kubur batu untuk mengubur jenazah yang terbuat dari beberapa lempengan batu dengan formasi dua di bagian samping dan satu di bagian bawah. Perlengkapan kubur yang ditemukan adalah anting-anting, gelang tangan, dan gelang kaki.
Kubur batu tersebut terletak di Nginong, Mbangkan sekitar 300 m sebelah barat daya Sokoliman. Punden berundak juga merupakan bagian dari Situs Sokoliman ini, yang letaknya 500 m sebelah utara dari kubur batu, dan berdekatan dengan sumber air yang terkenal dengan sebutan Sumber Gedhe.
Punden berundak ini berfungsi sebagai tempat pemujaan. Kemudian Sumber Gedhe yang merupakan sumber air yang didesain oleh manusia pada jaman itu untuk mengambil air, tempat mandi, mencuci, memberi minum binatang piaraan, dan sebagainya. Sumur ini usianya diperkirakan sama sama dengan kubur batu yang digunakan oleh manusia purba.
Di sekeliling sumber gedhe ini terdapat pohon-pohon besar, antara lain Pohon Epek raksasa dan Pohon Soka. Pohon-pohon tersebut aneh yaitu tidak pernah bertambah besar, tinggi atau apapun, tetap sama.
Bagian lainnya berupa reruntuhan candi kuno. Berada di pinggir hutan kesambi, yang dikenal dengan kompleks Watu Lumbung.
Reruntuhan ini diperkirakan terbuat dari batuan putih dan berusia agak muda. Cirinya di tempat tersebut terdapat patung yang mendekati ciri-ciri Arca Durga Mahisa Suramardani, yakni Dewa Hindu yang mengendarai lembu.
Untuk mencapai Situs Sokoliman memang membutuhkan kendaraan pribadi. Dari Wonosari, ibu kota Kabupaten Gunungkidul, menuju ke arah Timur laut menuju arah Bejiharjo melalui jalan beraspal, sesampai di Sokoliman nanti menuju lokasi agak masuk ke dalam dan jalan sampai di tempat situs sudah beraspal.
Candi Plaosan
Candi Plaosan Lor[/b]
.
Candi Plaosan Lor[/b]
.
CANDI GONDOSULI
Candi Gondosuli terletak di Desa Gondosuli Kecamatan Bulu, kira-kira 12 kilometer sebelah utara Kota Temanggung. Letak candi ini cukup strategis, berada pada jalur beberapa obyek wisata lainnya di Kabupaten Temanggung seperti Candi Pringapus, Wana Wisata Jumprit, Curug Surodipom juga berdekatan dengan Gunung Sindoro-Sumbing. Candi Gondosuli barangkali merupakan salah satu candi yang belum begitu banyak diketahui masyarakat umum (awam), termasuk masyarakat Temanggung sendiri. Tidak seperti candi-candi yang lain, candi Gondosuli hingga kini masih berada dibawah timbunan tanah. Memang ada beberapa bagian batu candi yang sudah ditemukan lewah penggalian, namun menurut banyak ahli, Candi Gondosuli berukuran sangat besar sehingga kalau digali dapat menenggelamkan seluruh kawasan desa. Diperkirakan Candi Gondosuli adalah bekas istana sebuah kerajaan. Rajanya bernama Rahayan Patapan yang memeluk agama Hindu. Kendati sebagian besar dari batu-baruan candi masih tertutup tanah, akan tetapi di antara batu-batuan yang sudah ditemukan terdapat beberapa yang memiliki keistimewaan. Misalnya, ada sebuah Yoni berbentuk batu segi empat dengan lubang ditengah-tengahnya. Di dalam lubang Yoni tersbeut terdapat air yang menurut masyarakat setempat tidak pernah kering, sekalipun di musim kemarau. Yoni berlubang tersebut hingga saat ini masih dianggap memiliki kekuatan magis. Di samping Yoni, terdapat juga sebuah batu berbentuk setengah lingkaran. Menurut ceritera, pada jaman dahulu batu setengah lingkaran itu sering di gunakan Raja Dang Karayang Pupalar untuk bertapa jika kerajaannya menghadapi ancaman.
Prasasti Gandasuli merupakan prasasti peninggalan Kerajaan Mataram Kuna ketika dikuasai oleh Wangsa Syailendra. Prasasti ini ditemukan di reruntuhan Candi Gondosuli, di Desa Gondosuli, Kecamatan Bulu, Temanggung, Jawa Tengah. Yang mengeluarkan adalah anak raja (pangeran) bernama Rakai Rakarayan Patapan Pu Palar, yang juga adik ipar raja Mataram, Rakai Garung.
Prasasti Gandasuli terdiri dari dua keping, disebut Gandasuli I (Dang pu Hwang Glis) dan Gandasuli II (Sanghyang Wintang). Ia ditulis menggunakan bahasa Melayu Kuna dengan aksara Kawi (Jawa Kuna), berangka tahun 792M. Teks prasasti Gandasuli II terdiri dari lima baris dan berisi tentang filsafat dan ungkapan kemerdekaan serta kejayaan Syailendra.
menara Masjid Kudus, gabungan antara arsitektur Hindu dan Islam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar