Rabu, 03 Maret 2010

WALI SONGO

Wali Songo
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Arti Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo ini adalah sebuah dewan yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) pada tahun 1474. Saat itu dewan Walisongo beranggotakan Raden Hasan (Pangeran Bintara); Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putra pertama dari Sunan Ampel); Qasim (Sunan Drajad, putra kedua dari Sunan Ampel); Usman Haji (Pangeran Ngudung, ayah dari Sunan Kudus); Raden Ainul Yaqin (Sunan Giri, putra dari Maulana Ishaq); Syekh Suta Maharaja; Raden Hamzah (Pangeran Tumapel) dan Raden Mahmud.
Para Walisongo adalah intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.

Masjid Agung Demak, diyakini sebagai salah satu tempat berkumpulnya para wali yang paling awal.



Nama-nama Walisongo 
Meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai siapa saja yang termasuk sebagai Walisongo, pada umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang paling terkenal, yaitu:

Sunan Gresik

Sunan Gresik atau Maulana Malik Ibrahim (w. 1419 M/882 H) adalah nama salah seorang Walisongo, yang dianggap yang pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Ia dimakamkan di desa Gapura, kota Gresik, Jawa Timur.
Asal keturunan
Tidak terdapat bukti sejarah yang meyakinkan mengenai asal keturunan Maulana Malik Ibrahim, meskipun pada umumnya disepakati bahwa ia bukanlah orang Jawa asli. Sebutan Syekh Maghribi yang diberikan masyarakat kepadanya, kemungkinan menisbatkan asal keturunannya dari Maghrib, atau Maroko di Afrika Utara.
Babad Tanah Jawi versi J.J. Meinsma menyebutnya dengan nama Makhdum Ibrahim as-Samarqandy, yang mengikuti pengucapan lidah Jawa menjadi Syekh Ibrahim Asmarakandi. Ia memperkirakan bahwa Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14.
Dalam keterangannya pada buku The History of Java mengenai asal mula dan perkembangan kota Gresik, Raffles menyatakan bahwa menurut penuturan para penulis lokal, "Mulana Ibrahim, seorang Pandita terkenal berasal dari Arabia, keturunan dari Jenal Abidin, dan sepupu Raja Chermen (sebuah negara Sabrang), telah menetap bersama para Mahomedans lainnya di Desa Leran di Jang'gala".
Namun demikian, kemungkinan pendapat yang terkuat adalah berdasarkan pembacaan J.P. Moquette atas baris kelima tulisan pada prasasti makamnya di desa Gapura Wetan, Gresik; yang mengindikasikan bahwa ia berasal dari Kashan, suatu tempat di Iran sekarang.
Terdapat beberapa versi mengenai silsilah Maulana Malik Ibrahim. Ia pada umumnya dianggap merupakan keturunan Rasulullah SAW; melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad al-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal, Jamaluddin Akbar al-Husain (Maulana Akbar), dan Maulana Malik Ibrahim. 

Penyebaran agama
Maulana Malik Ibrahim dianggap termasuk salah seorang yang pertama-tama menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, dan merupakan wali senior diantara para Walisongo lainnya. Beberapa versi babad menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali ialah desa Sembalo, sekarang adalah daerah Leran, Kecamatan Manyar, yaitu 9 kilometer ke arah utara kota Gresik. Ia lalu mulai menyiarkan agama Islam di tanah Jawa bagian timur, dengan mendirikan mesjid pertama di desa Pasucinan, Manyar.

Makam Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), desa Gapura, Gresik Jawa Timur.
Pertama-tama yang dilakukannya ialah mendekati masyarakat melalui pergaulan. Budi bahasa yang ramah-tamah senantiasa diperlihatkannya di dalam pergaulan sehari-hari. Ia tidak menentang secara tajam agama dan kepercayaan hidup dari penduduk asli, melainkan hanya memperlihatkan keindahan dan kabaikan yang dibawa oleh agama Islam. Berkat keramah-tamahannya, banyak masyarakat yang tertarik masuk ke dalam agama Islam.
Sebagaimana yang dilakukan para wali awal lainnya, aktivitas pertama yang dilakukan Maulana Malik Ibrahim ialah berdagang. Ia berdagang di tempat pelabuhan terbuka, yang sekarang dinamakan desa Roomo, Manyar. Perdagangan membuatnya dapat berinteraksi dengan masyarakat banyak, selain itu raja dan para bangsawan dapat pula turut serta dalam kegiatan perdagangan tersebut sebagai pelaku jual-beli, pemilik kapal atau pemodal. Setelah cukup mapan di masyarakat, Maulana Malik Ibrahim kemudian melakukan kunjungan ke ibukota Majapahit di Trowulan. Raja Majapahit meskipun tidak masuk Islam tetapi menerimanya dengan baik, bahkan memberikannya sebidang tanah di pinggiran kota Gresik. Wilayah itulah yang sekarang dikenal dengan nama desa Gapura. Cerita rakyat tersebut diduga mengandung unsur-unsur kebenaran; mengingat menurut Groeneveldt pada saat Maulana Malik Ibrahim hidup, di ibukota Majapahit telah banyak orang asing termasuk dari Asia Barat.
Demikianlah, dalam rangka mempersiapkan kader untuk melanjutkan perjuangan menegakkan ajaran-ajaran Islam, Maulana Malik Ibrahim membuka pesantren-pesantren yang merupakan tempat mendidik pemuka agama Islam di masa selanjutnya. Hingga saat ini makamnya masih diziarahi orang-orang yang menghargai usahanya menyebarkan agama Islam berabad-abad yang silam. Setiap malam Jumat Legi, masyarakat setempat ramai berkunjung untuk berziarah. Ritual ziarah tahunan atau haul juga diadakan setiap tanggal 12 Rabi'ul Awwal, sesuai tanggal wafat pada prasasi makamnya. Pada acara haul biasa dilakukan khataman Al-Quran, mauludan (pembacaan riwayat Nabi Muhammad), dan dihidangkan makanan khas bubur harisah.
Legenda rakyat
Menurut legenda rakyat, dikatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia. Maulana Malik Ibrahim Ibrahim dan Maulana Ishaq disebutkan sebagai anak dari Maulana Jumadil Kubro, atau Syekh Jumadil Qubro. Maulana Ishaq disebutkan menjadi ulama terkenal di Samudera Pasai, sekaligus ayah dari Raden Paku atau Sunan Giri. Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya bersama-sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah; Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan; dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudera Pasai.
Maulana Malik Ibrahim disebutkan bermukim di Champa (dalam legenda disebut sebagai negeri Chermain atau Cermin) selama tiga belas tahun. Ia menikahi putri raja yang memberinya dua putra; yaitu Raden Rahmat atau Sunan Ampel dan Sayid Ali Murtadha atau Raden Santri. Setelah cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, ia hijrah ke pulau Jawa dan meninggalkan keluarganya. Setelah dewasa, kedua anaknya mengikuti jejaknya menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
Maulana Malik Ibrahim dalam cerita rakyat terkadang juga disebut dengan nama Kakek Bantal. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah, dan berhasil dalam misinya mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara.
Selain itu, ia juga sering mengobati masyarakat sekitar tanpa biaya. Sebagai tabib, diceritakan bahwa ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Champa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Wafat
Setelah selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Inskripsi dalam bahasa Arab yang tertulis pada makamnya adalah sebagai berikut:
Ini adalah makam almarhum seorang yang dapat diharapkan mendapat pengampunan Allah dan yang mengharapkan kepada rahmat Tuhannya Yang Maha Luhur, guru para pangeran dan sebagai tongkat sekalian para Sultan dan Wazir, siraman bagi kaum fakir dan miskin. Yang berbahagia dan syahid penguasa dan urusan agama: Malik Ibrahim yang terkenal dengan kebaikannya. Semoga Allah melimpahkan rahmat dan ridha-Nya dan semoga menempatkannya di surga. Ia wafat pada hari Senin 12 Rabi'ul Awwal 822 Hijriah.
Saat ini, jalan yang menuju ke makam tersebut diberi nama Jalan Malik Ibrahim.
 
Sunan Ampel
 
Sunan Ampel
Sunan Ampel pada masa kecilnya bernama Raden Rahmat, dan diperkirakan lahir pada tahun 1401 di Champa. Ada dua pendapat mengenai lokasi Champa ini. Encyclopedia Van Nederlandesh Indie mengatakan bahwa Champa adalah satu negeri kecil yang terletak di Kamboja. Pendapat lain, Raffles menyatakan bahwa Champa terletak di Aceh yang kini bernama Jeumpa. Menurut beberapa riwayat, orang tua Sunan Ampel adalah Ibrahim Asmarakandi yang berasal dari Champa dan menjadi raja di sana.
Ibrahim Asmarakandi disebut juga sebagai Maulana Malik Ibrahim. Ia dan adiknya, Maulana Ishaq adalah anak dari Syekh Jumadil Qubro. Ketiganya berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah.
Menurut Hikayat Banjar dan Kotawaringin (= Hikayat Banjar resensi I), nama asli Sunan Ampel adalah Raja Bungsu, anak Sultan Pasai. Beliau datang ke Majapahit menyusul/menengok kakaknya yang diambil isteri oleh Raja Mapajahit. Raja Majapahit saat itu bernama Dipati Hangrok dengan mangkubuminya Patih Maudara. Dipati Hangrok telah memerintahkan menterinya Gagak Baning melamar Putri Pasai dengan membawa sepuluh buah perahu ke Pasai. Sebagai kerajaan Islam, mulanya Sultan Pasai keberatan jika Putrinya dijadikan isteri Raja Majapahit, tetapi karena takut binasa kerajaannya akhirnya Putri tersebut diberikan juga. Putri Pasai dengan Raja Majapahit memperoleh anak laki-laki [yang diduga adalah Raden Patah]. Karena rasa sayangnya Putri Pasai melarang Raja Bungsu pulang ke Pasai. Sebagai ipar Raja Majapahit, Raja Bungsu kemudian meminta tanah untuk menetap di wilayah pesisir yang dinamakan Ampelgading. Putri Pasai kemudian diserahkan sebagai isteri bagi putera raja Bali, yang wafat ketika Putri Pasai mengandung tiga bulan. Karena dianggap akan membawa celaka bagi negeri tersebut, maka ketika lahir bayi ini dihanyutkan ke laut, tetapi kemudian dapat dipungut dan dipelihara oleh Nyai Suta-Pinatih, kelak disebut Pangeran Giri. Putri Pasai kembali ke Majapahit, kelak ketika terjadi huru-hara di ibukota Majapahit, Putri Pasai pergi ke tempat adiknya Raja Bungsu di Ampelgading. Penduduk desa-desa sekitar memohon untuk dapat masuk Islam kepada Raja Bungsu, tetapi Raja Bungsu sendiri merasa perlu meminta ijin terlebih dahulu kepada Raja Majapahit tentang proses islamisasi tersebut. Akhirnya Raja Majapahit berkenan memperbolehkan penduduk untuk beralih kepada agama Islam. Petinggi daerah Jipang menurut aturan dari Raja Majapahit secara rutin menyerahkan hasil bumi kepada Raja Bungsu. Petinggi Jipang dan keluarga masuk Islam. Raja Bungsu beristerikan puteri dari petinggi daerah Jipang tersebut, kemudian memperoleh dua orang anak, yang tertua seorang perempuan diambil sebagai isteri oleh Sunan Kudus, sedang yang laki-laki digelari sebagai Pangeran Bonang. Raja Bungsu sendiri disebut sebagai Pangeran Makhdum.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Ampel disebut Sayyid Rahmad merupakan keponakan dari Putri Champa (Jeumpa?) permaisuri Prabu Brawijaya.

Silsilah
  • Sunan Ampel @ Raden Rahmat @ Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
  • Maulana Malik Ibrahim @ Ibrahim Asmoro bin
  • Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Khan bin
  • Ahmad Jalaludin Khan bin
  • Abdullah Khan bin
  • Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
  • Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
  • Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)
  • Ali Kholi' Qosam bin
  • Alawi Ats-Tsani bin
  • Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
  • Alawi Awwal bin
  • Ubaidullah bin
  • Ahmad al-Muhajir bin
  • Isa Ar-Rumi bin
  • Muhammad An-Naqib bin
  • Ali Uraidhi bin
  • Ja'far ash-Shadiq bin
  • Muhammad al-Baqir bin
  • Ali Zainal Abidin bin
  • Imam Husain bin
  • Ali bin Abi Thalib dan Fatimah az-Zahra bin Muhammad
Jadi, Sunan Ampel memiliki darah Uzbekistan dan Champa dari sebelah ibu. Tetapi dari ayah leluhur mereka adalah keturunan langsung dari Ahmad al-Muhajir, Hadhramaut. Bermakna mereka termasuk keluarga besar Saadah BaAlawi.

Makam Sunan Ampel
Sejarah dakwah
Syekh Jumadil Qubro, dan kedua anaknya, Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ishak bersama sama datang ke pulau Jawa. Setelah itu mereka berpisah, Syekh Jumadil Qubro tetap di pulau Jawa, Maulana Malik Ibrahim ke Champa, Vietnam Selatan, dan adiknya Maulana Ishak mengislamkan Samudra Pasai.
Di Kerajaan Champa, Maulana Malik Ibrahim berhasil mengislamkan Raja Champa, yang akhirnya merubah Kerajaan Champa menjadi Kerajaan Islam. Akhirnya dia dijodohkan dengan putri Champa, dan lahirlah Raden Rahmat. Di kemudian hari Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa tanpa diikuti keluarganya.
Sunan Ampel datang ke pulau Jawa pada tahun 1443, untuk menemui bibinya, Dwarawati. Dwarawati adalah seorang putri Champa yang menikah dengan raja Majapahit yang bernama Prabu Kertawijaya.
Sunan Ampel menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban yang bernama Arya Teja. Mereka dikaruniai 4 orang anak, yaitu: Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum IbrahimSunan Bonang), (Syarifuddin (Sunan Drajat) dan Syarifah, yang merupakan isteri dari Sunan Kudus.
Pada tahun 1479, Sunan Ampel mendirikan Mesjid Agung Demak.
Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

Sunan Bonang

Sunan Bonang
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat beliau meninggal, kabar wafatnya beliau sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi beliau sampai ingin membawa jenazah beliau ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian beliau. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.

Silsilah
Makam Sunan Bonang
Terdapat silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad:
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
Maulana Malik Ibrahim bin
Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
Ahmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin
Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
Ali Kholi' Qosam bin
Alawi Ats-Tsani bin
Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
Alawi Awwal bin
Ubaidullah bin
Ahmad al-Muhajir bin
Isa Ar-Rumi bin
Muhammad An-Naqib bin
Ali Uradhi bin
Ja'afar As-Sodiq bin
Muhammad Al Baqir bin
Ali Zainal 'Abidin bin
Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad).

Karya Sastra
Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.
Apa pula sebuah karya sastra dalam bahasa Jawa yang dahulu diperkirakan merupakan karya Sunan Bonang dan oleh ilmuwan Belanda seperti Schrieke disebut Het Boek van Bonang atau buku (Sunan) Bonang. Tetapi oleh G.W.J. Drewes, seorang pakar Belanda lainnya, dianggap bukan karya Sunan Bonang, melainkan dianggapkan sebagai karyanya.

Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian beliau kombinasi dengan kesimbangan pernafasan yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Beliau ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf dimulai dari huruf Alif dan diakhiri huruf Ya'. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam penulis artikan yaitu mengajak murid-muridnya untuk menghafal huruf-huruf hijaiyyah dan nantinya setelah mencapai tingkatnya diharuskan bisa baca dan memahami isi Al-Qur'an. Penekanan keilmuan yang diciptakan Sunan Bonang adalah mengajak murid-muridnya untuk melakukan Sujud atau Sholat dan dzikir. Hingga sekarang ilmu yang diciptakan oleh Sunan Bonang masih dilestarikan di Indonesia oleh generasinya dan diorganisasikan dengan nama Padepokan Ilmu Sujud Tenaga Dalam Silat Tauhid Indonesia.

Sunan Drajat

Sunan Drajat
Sunan Drajat diperkirakan lahir pada tahun 1470 masehi. Nama kecilnya adalah Raden Qasim, kemudian mendapat gelar Raden Syarifudin. Dia adalah putra dari Sunan Ampel, dan bersaudara dengan Sunan Bonang.
Ketika dewasa, Sunan Drajat mendirikan pesantren Dalem Duwur di desa Drajat, Paciran Kabupaten Lamongan.
Sunan Drajat yang mempunyai nama kecil Syarifudin atau raden Qosim putra Sunan Ampel dan terkenal dengan kecerdasannya. Setelah menguasai pelajaran islam beliau menyebarkan agama islam di desa Drajad sebagai tanah perdikan di kecamatan Paciran. Tempat ini diberikan oleh kerajaan Demak. Ia diberi gelar Sunan Mayang Madu oleh Raden Patah pada tahun saka 1442/1520 masehi
Makam Sunan Drajat dapat ditempuh dari surabaya maupun Tuban lewat Jalan Daendels (Anyer - Panarukan), namun bila lewat Lamongan dapat ditempuh 30 menit dengan kendaran pribadi.


Sejarah singkat
Makam Sunan Drajat
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syari­fuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah pelajaran Islam dikuasai, beliau me­ngambil tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Beliau sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperha­tikan nasib kaum fakir miskin. Ia terle­bih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran. Usaha ke arah itu menjadi lebih mudah karena Sunan Drajat memperoleh kewenangan untuk mengatur wilayahnya yang mempu­nyai otonomi.
Sebagai penghargaan atas keberha­silannya menyebarkan agama Islam dan usahanya menanggulangi kemiskinan dengan menciptakan kehidupan yang makmur bagi warganya, beliau memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.

Filosofi Sunan Drajat
Filosofi Sunan Drajat dalam pengentasan kemiskinan kini terabadikan dalam sap tangga ke tujuh dari tataran komplek Makam Sunan Drajat. Secara lengkap makna filosofis ke tujuh sap tangga tersebut sebagai berikut :
  1. Memangun resep teyasing Sasomo (kita selalu membuat senang hati orang lain)
  2. Jroning suko kudu eling Ian waspodo (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
  3. Laksitaning subroto tan nyipto marang pringgo bayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
  4. Meper Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
  5. Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan mem­peroleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
  6. Mulyo guno Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
  7. Menehono teken marang wong kang wuto, Menehono mangan marang wong kang luwe, Menehono busono marang wong kang wudo, Menehono ngiyup marang wongkang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masya­rakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)

Penghargaan

Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat yakni Pangkur. Sisa - sisa gamelan Singomeng­koknya Sunan Drajat kini tersimpan di Musium Daerah.
Untuk menghormati jasa - jasa Sunan Drajat sebagai seorang Wali penyebar agama Islam di wilayah Lamongan dan untuk melestarikan budaya serta benda-­benda bersejarah peninggalannya Sunan Drajat, keluarga dan para sahabatnya yang berjasa pada penyiaran agama Islam, Pemerintah Kabupaten Lamongan mendirikan Musium Daerah Sunan Drajat disebelah timur Makam. Musium ini telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Timur tanggal 1 Maret 1992.
Upaya Bupati Lamongan R. Mohamad Faried, SH untuk menyelamatkan dan melestarikan warisan sejarah bangsa ini mendapat dukungan penuh Gubernur Jawa Timur dengan alokasi dana APBD I yaitu pada tahun 1992 dengan pemugaran Cungkup dan pembangu­nan Gapura Paduraksa senilai Rp. 98 juta dan anggaran Rp. 100 juta 202 ribu untuk pembangunan kembali Masjid Sunan Drajat yang diresmikan oleh Menteri Penerangan RI tanggal 27 Juni 1993. Pada tahun 1993 sampai 1994 pembenahan dan pembangunan Situs Makam Sunan Drajat dilanjutkan dengan pembangunan pagar kayu berukir, renovasi paseban, bale rante serta Cungkup Sitinggil dengan dana APBD I Jawa Timur sebesar RP. 131 juta yang diresmikan Gubernur Jawa Timur M. Basofi Sudirman tanggal 14 Januari 1994.

Peninggalan Sunan Drajat
 

Add caption



Sunan Kudus

Sunan Kudus
Sunan Kudus dilahirkan dengan nama Jaffar Shadiq. Dia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung, adalah panglima perang Kesultanan Demak Bintoro dan Syarifah adik dari Sunan Bonang. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun 1550.
Sunan Kudus pernah menjabat sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, dan dalam masa pemerintahan Sunan Prawoto dia menjadi penasihat bagi Arya Penangsang. Selain sebagai panglima perang untuk Kesultanan Demak, Sunan Kudus juga menjabat sebagai hakim pengadilan bagi Kesultanan Demak.
Dalam melakukan dakwah penyebaran Islam di Kudus, Sunan Kudus menggunakan sapi sebagai sarana penarik masyarakat untuk datang untuk mendengarkan dakwahnya. Sunan Kudus juga membangun Menara Kudus yang merupakan gabungan kebudayaan Islam dan Hindu yang juga terdapat Masjid yang disebut Masjid Menara Kudus.
Pada tahun 1530, Sunan Kudus mendirikan sebuah mesjid di desa Kerjasan, Kudus Kulon, yang kini terkenal dengan nama Masjid Agung Kudus dan masih bertahan hingga sekarang. Sekarang Masjid Agung Kudus berada di alun-alun kota Kudus Jawa Tengah.Peninggalan lain dari Sunan Kudus adalah permintaannya kepada masyarakat untuk tidak memotong hewan kurban sapi dalam perayaan Idul Adha untuk menghormati masyarakat penganut agama Hindu dengan mengganti kurban sapi dengan memotong kurban kerbau, pesan untuk memotong kurban kerbau ini masih banyak ditaati oleh masyarakat Kudus hingga saat ini.
MESKI namanya Sunan Kudus, ia bukanlah asli Kudus. Dia datang dari Jipang Panolan (ada yang mengatakan disebelah utara Blora), berjarak 25 kilometer ke arah barat kota Kudus, Jawa Tengah. Di sanalah ia dilahirkan, dan diberi nama Ja'far Shodiq. Ia adalah anak dari hasil perkawinan Sunan Undung atau Sunan Ngudung (Raden Usman Haji) dengan Syarifah, cucu Sunan Ampel. Semasa jayanya, Sultan Undung terkenal sebagai panglima perang yang tangguh. Sampai suatu waktu, Sunan Undung tewas dalam peperangan antara Demak dan Majapahit. Setelah itu, Ja'far Shodiq menggantikan posisi ayahnya. Tugas utamanya ialah menaklukkan wilayah Kerajaan Majapahit untuk memperluas kekuasaan Demak. Kenyataannya, Ja'far Shodiq terbukti hebat di medan perang, tak kalah dengan kepiawaian ayahnya. Ja'far Shodiq berhasil mengembangkan wilayah Kerajaan Demak, ke timur mencapai Madura, dan ke arah barat hingga Cirebon. Sukses ini kemudian memunculkan berbagai cerita kesaktian Ja'far Shodiq. Misalnya, sebelum perang, Ja'far Shodiq diberi badong --semacam rompi-- oleh Sunan Gunung Jati. Badong itu dibawa berkeliling arena perang. Dari badong sakti itu kemudian keluarlah jutaan tikus, yang juga ternyata sakti. Kalau dipukul, tikus itu bukannya mati, malah makin mengamuk sejadi-jadinya. Pasukan Majapahit ketakutan lari tunggang langgang. Dia juga punya sebuah peti, yang bisa mengeluarkan jutaan tawon. Banyak prajurit Majapahit yang tewas disengat tawon. Yang pasti, pemimpin pasukan Majapahit, Adipati Terung, menyerah kepada pasukan Ja'far Shodiq. Usai perang, Ja'far Shodiq menikahi putri Adipati Terung, yang kemudian menghasilkan delapan anak. Selama hidupnya, Ja'far Shodiq sendiri juga punya istri lain, antara lain putri Sunan Bonang, yang menghasilkan satu anak. Sukses mengalahkan Majapahit membuat posisi Ja'far Shodiq makin kokoh. Dia mendapat tugas lanjutan untuk mengalahkan Adipati Handayaningrat, yang berniat makar terhadap Kerajaan Demak. Adipati Handayaningrat merupakan gelar yang disandang Kebo Kenanga, penguasa daerah Pengging --wilayah Boyolali-- dan sekitarnya. Kebo Kenanga berniat mendirikan negara sendiri bersama Ki Ageng Tingkir. Pasangan ini merupakan pengikut Syekh Siti Jenar, seorang guru yang mengajarkan hidup model sufi. Kebo Kenanga dan Tingkir digambarkan sebagai saudara seperjuangan, yang saling menyayangi bagaikan saudara kandung. Tanda-tanda pembangkangan Kebo Kenanga makin kentara ketika ia menolak menghadap Raja Demak, Adipati Bintara, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Raden Patah. Surat panggilan yang dibuat Raden Patah ditelantarkan hingga tiga tahun oleh Kebo Kenanga. Maka, Raden Patah memutuskan untuk mematahkan pembangkangan Kebo Kenanga itu. Raden Patah memerintahkan Ja'far Shodiq ''meredam'' Kebo Kenanga. Dalam sebuah pertarungan, Kebo Kenanga tewas. Namun, kehebatan Ja'far Shodiq sebagai panglima perang lama-kelamaan surut. Bahkan, menjelang kepindahannya ke Kudus, Ja'far Shodiq tidak lagi menjadi panglima perang, melainkan menjadi penghulu masjid di Demak.Terdapat beberapa versi tentang kepergian Ja'far Shodiq dari Demak. Ada kemungkinan, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Raja Demak. Kemungkinan lain, Ja'far Shodiq berselisih paham dengan Sunan Kalijaga. Dalam Serat Kandha disebutkan, Ja'far Shodiq memiliki murid, Pangeran Prawata. Belakangan, Pangeran Prawata justru mengakui Sunan Kalijaga sebagai guru baru. Bagi Ja'far Shodiq, Pangeran Prawata durhaka karena mengakui dua guru sekaligus. Ketika Pangeran Prawata menjadi Raja Demak, Ja'far Shodiq berniat membunuhnya, melalui tangan Arya Penangsang, yang tiada lain dari pada adik kandung Prawata. Agaknya, Arya Penangsang tidak tega, maka dia pun menyuruh orang lain lagi, yang bernama Rangkud. Pangeran Prawata akhirnya tewas bersama istrinya, setelah ditikam Rangkud. Jenazah Prawata bersandar ke badan istrinya, karena keduanya tertembus pedang. Rangkud juga mati. Sebab, tanpa diduga, sebelum mengembuskan napas penghabisan, Prawata sempat melempar keris Kiai Bethok ke tubuh Rangkud. Versi lain menyebutkan, Ja'far Shodiq meninggalkan Demak karena alasan pribadi semata. Ia ingin hidup merdeka dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama Islam. Belum jelas kapan persisnya Ja'far Shodiq tiba di Kudus. H.J. De Graaf dan T.H. Pigeaud dalam bukunya, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, mencoba mengumpulkan beberapa catatan tentang aktivitas Ja'far Shodiq di sana. Kedua peneliti itu menyatakan, ketika Ja'far Shodiq menginjakkan kaki di Kudus, kota itu masih bernama Tajug. Menurut penuturan warga setempat, yang mula-mula mengembangkan kota Tajug adalah Kiai Telingsing. Ada yang menyebut, Telingsing merupakan panggilan sederhana kepada The Ling Sing, orang Cina beragama Islam. Cerita ini menunjukkan bahwa kota itu sudah berkembang sebelum kedatangan Ja'far Shodiq. Beberapa cerita tutur mempercayai bahwa Ja'far Shodiq merupakan penghulu Demak yang menyingkir dari kerajaan. Di Tajug, Ja'far Shodiq mula-mula hidup di tengah-tengah jamaah dalam kelompok kecil. Ada yang menafsirkan, jamaah Ja'far Shodiq itu merupakan para santri yang dibawanya dari Demak. Mereka sekaligus para tentara yang ikut bersama-sama Ja'far Shodiq memerangi Majapahit. Versi lain menyebutkan, para pengikutnya itu merupakan warga setempat yang dipekerjakan Ja'far Shodiq untuk menggarap tanah ladang. Ini bisa ditafsirkan bahwa Ja'far Shodiq mula-mula hidup dari penghasilan menggarap lahan pertanian. Setelah jamaahnya makin banyak, Ja'far Shodiq kemudian membangun masjid sebagai tempat ibadah dan pusat penyebaran agama. Tempat ibadah yang diyakini dibangun oleh Ja'far Shodiq adalah Masjid Menara Kudus, yang kini masih berdiri. Nama Ja'far Shodiq tercatat dalam inskripsi masjid tersebut. Menurut catatan di situ, masjid ini didirikan pada 956 Hijriah, sama dengan 1549 Masehi. Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, ''... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds...'' Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq menamakan masjid itu dengan sebutan Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem.

Kota Tajug juga mendapat nama baru, yakni Quds, yang kemudian berubah menjadi Kudus. Pada akhirnya, Ja'far Shodiq sendiri lebih terkenal dengan sebutan Sunan Kudus. Dalam menyebarkan agamanya, Sunan Kudus mengikuti gaya Sunan Kalijaga, yakni menggunakan model ''tutwuri handayani''. Artinya, Sunan Kudus tidak melakukan perlawanan frontal, melainkan mengarahkan masyarakat sedikit demi sedikit.
Masjid Peninggalan Sunan Kudus

Ketika itu, masyarakat Kudus masih didominasi penganut Hindu. Maka, Sunan Kudus pun berusaha memadukan kebiasaan mereka ke dalam syariat Islam secara halus. Misalnya, Sunan Kudus justru menyembelih kerbau, bukan sapi, pada saat hari raya Idul Qurban. Itu merupakan bagian dari penghormatan Sunan Kudus kepada para pengikut Hindu.

Cara yang simpatik itu membuat para penganut agama lain bersedia mendengarkan ceramah agama Islam dari Sunan Kudus. Surat Al-Baqarah, yang dalam bahasa Arab artinya sapi, sering dibacakan Sunan Kudus untuk lebih memikat pendengar. Pembangunan Masjid Kudus sendiri tidak meninggalkan unsur arsitektur Hindu. Bentuk menaranya tetap menyisakan arsitektur gaya Hindu.
Diantara bekas peninggalan beliau adalah Masjid Raya di-Kudus, yang kemudian dikenal dengan sebutan Masjid Menara Kudus. Oleh karena di halaman masjid tersebut terdapat sebuah menara kuno yang indah. Mengenai asal-usulnya nama Kudus menurut dongeng (legenda) yang hidup dikalangan masyarakat setempat ialah, bahwa dahulu Sunan Kudus pernah pergi naik haji sambil menuntut ilmu di tanah Arab, kemudian beliau juga mengajar di sana. Pada suatu masa, di tanah arab konon berjangkit suatu wabah penyakit yang membahayakan, penyakit itu menjadi reda berkat jasa Sunan Kudus. Oleh karena itu, seorang amir disana berkenan untuk memberikan suatu hadiah kepada beliau. Akan tetapi beliau menolak, hanya kenang-kenangan sebuah batu yang beliau minta. Batu tersebut katanya berasal dari kota Baitul Makdis, atau Jeruzalem, maka sebagai peringatan kepada kota dimana Ja'far Sodiq hidup serta bertempat tinggal, kemudian diberikan nama Kudus.
Bahkan menara yang terdapat di depan masjid itupun juga menjadi terkenal dengan sebutan Menara Kudus. Mengenai nama Kudus atau Al Kudus ini di dalam buku Encyclopedia Islam antara lain disebutkan : "Al kuds the usual arabic nama for Jeruzalem in later times, the olders writers call it commonly bait al makdis ( according to some : mukaddas ), with really meant the temple (of solomon), a translation of the hebrew bethamikdath, but it because applied to the whole town."
Kebiasaan unik lain Sunan Kudus dalam berdakwah adalah acara bedug dandang, berupa kegiatan menunggu datangnya bulan Ramadhan. Untuk mengundang para jamaah ke masjid, Sunan Kudus menabuh beduk bertalu-talu. Setelah jamaah berkumpul di masjid, Sunan Kudus mengumumkan kapan persisnya hari pertama puasa. Sekarang ini, acara dandangan masih berlangsung, tapi sudah jauh dari aslinya. Menjelang Ramadhan, banyak orang datang ke areal masjid. Tetapi, mereka bukan hendak mendengarkan pengumuman awal puasa, hanya untuk membeli berbagai juadah yang dijajakan para pedagang musiman.
Beliau wafat dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Jami Kudus. Jika orang memandang Menara Masjid Kudus yang lain sangat aneh dan artistik tersebut pasti akan segera teringat pada pendirinya yaitu Sunan Kudus.

Legenda Kota Kudus
Nama Sunan Kudus di kalangan masyarakat setempat, dimitoskan sebagai seorang tokoh yang terkenal dengan seribu satu tentang kesaktianya, Sunan Kudus dikatanya sebagai wali yang sakti, yang dapat diperbuat sesuatu di luar kesanggupan otak dan tenaga manusia biasa.
Dalam dongeng yang masih hidup di kalangan masyarakat, antara lain dikatakan, bahwa pada zaman dahulu pernah Sunan Kudus pergi haji serta bermukim disana. Kemudian beliau menderita penyakit kudis ( bhs. Jawa : gudigen ), sehingga oleh kawan - kawan beliau, Sunan Kudus dihina. Entah kenapa timbullah malapetaka yang menimpa negeri Arab dengan berjangkitnya wabah penyakit. Segala daya upaya telah dilakukan untuk mengatasi bahaya tersebut, namun kiranya usaha itu sia - sia belaka. Akhirnya di mintalah bantuan beliau untuk memberikan jasa - jasa baiknya. Bahaya itupun karena kesaktian beliau menjadi reda kembali. Atas jasa beliau, Amir dari negeri Arab itupun berkenan memberi hadiah kepada beliau sebagai pembalasan jasa. Akan tetapi Sunan Kudus menolak pemberian hadiah berupa apapun juga. Dan beliau hanya meminta sebuah batu sebagai kenang - kenangan yang akan dipakai sebagai peringatan bagi pendirian masjid di Kudus.
Jauh sebelum masjid kuno itu didirikan beliau konon kabarnya masjid yang terletak di desa Nganguk di Kudus itu adalah masjid Sunan Kudus yang pertama kali. Dalam dongeng di ceritakan, bahwa jauh sebelum Sunan Kudus memegang tampuk pimpinan di Kudus, telah ada seorang tokoh terkemuka disana ialah Kyai Telingsing. karena beliau sudah lanjut usia maka ia ingin mencari penggantinya. Pada suatu hari Kyai Telingsing berdiri sambil menengok ke kanan dan ke kiri seperti ada yang dicarinya (bhs. Jawa : ingak - inguk), tiba - tiba Sunan Kudus pun muncul dari arah selatan, dan masjidpun segera dibinanya di dalam waktu yang amat singkat, malahan ada yang mengatakan bahwa masjid itu tiba - tiba muncul denga sendirinya (bhs. Jawa : Majid tiban), berhubungan dengan itu desa tersebut kemudian di beri nama : Nganguk, sedangkan masjidnya dinamakan Masjid Nganguk Wali.
Lebih jauh dalam dongeng itupun disebutkan, bahwa baik Menara Kudus maupun lawang kembar, masing - masing di bawa oleh beliau dengan di bungkus sapu tangandari tanah Arab, sedangkan lawang kembar, katanya di pindahkan beliau dari Majapahit.
  • Legenda daerah Jember
Makam Sunan Kudus
Sekali peristiwa, datang seorang tamu bernama Ki Ageng Kedu yang hendak menghadap Sunan Kudus. tamu tersebut mengendarai sebuah tampah. sesampainya di Kudus Ki Ageng Kedu tidak lah langsung menghadap Sunan Kudus, melainkan memamerkan kesaktianya dengan mengendarai tampah serta berputar - putar diangkasa. Seketika dilihatnya oleh Sunan Kudus, maka beliau murka sambil mengatakan, bahwa tamu Ki Ageng Kedu ini menyombongkan kesaktianya. Sesudah di sabda oleh beliau, berkat kesaktian Sunan Kudus, tampah yang ditumpangi Ki Ageng Kedu itupun meluncur ke bawah hingga jatuh ke tanah yang becek (bhs. Jawa : ngecember), sehingga tempat tersebut kemudian dinamakan Jember
Selain itu di dalam dongeng di sebutkan bahwa pada suatu hari Sunan Kudus memakan ikan lele, kemudian setelah tinggal tulang dan kepalanya, dibuanglah oleh Sunan Kudus ke dalam sebuah sumur, maka ikan yang tinggal tulang dan kepala itupun hidup kembali.
Di dalam "Babad Tanah Jawi" serta kepustakaan Jawa lainya dikatakan, bahwa nama kecil Sunan Kudus ialah Raden Undung, beliau pernah memimpin tentara Demak melawan Majapahit. Selanjutnya juga di sebutkan bahwa Sunan Kudus lah yang membunuh Syekh Siti Jenar dan Kebo Kenanga, karena keduanya mengajarkan ilmu yang di pandang sangat membahayakan masyarakat yang baru saja memeluk agama Islam.

Sunan Giri 
 
Sunan Giri adalah nama salah seorang Walisongo dan pendiri kerajaan Giri Kedaton, yang berkedudukan di daerah Gresik, Jawa Timur. Ia lahir di Blambangan tahun 1442. Sunan Giri memiliki beberapa nama panggilan, yaitu Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, Raden 'Ainul Yaqin dan Joko Samudra. Ia dimakamkan di desa Giri, Kebomas, Gresik. 

Silsilah
Sunan Giri
Beberapa babad menceritakan pendapat yang berbeda mengenai silsilah Sunan Giri. Sebagian babad berpendapat bahwa ia adalah anak Maulana Ishaq, seorang mubaligh yang datang dari Asia Tengah. Maulana Ishaq diceritakan menikah dengan Dewi Sekardadu, yaitu putri dari Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit.
Pendapat lainnya yang menyatakan bahwa Sunan Giri juga merupakan keturunan Rasulullah SAW; yaitu melalui jalur keturunan Husain bin Ali, Ali Zainal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja'far ash-Shadiq, Ali al-Uraidhi, Muhammad an-Naqib, Isa ar-Rumi, Ahmad al-Muhajir, Ubaidullah, Alwi Awwal, Muhammad Sahibus Saumiah, Alwi ats-Tsani, Ali Khali' Qasam, Muhammad Shahib Mirbath, Alwi Ammi al-Faqih, Abdul Malik (Ahmad Khan), Abdullah (al-Azhamat) Khan, Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan), Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar), Maulana Ishaq, dan 'Ainul Yaqin (Sunan Giri). Umumnya pendapat tersebut adalah berdasarkan riwayat pesantren-pesantren Jawa Timur, dan catatan nasab Sa'adah BaAlawi Hadramaut.
Dalam Hikayat Banjar, Pangeran Giri/Sunan Giri merupakan putera dari pasangan Putri Pasai (Jeumpa?) dengan putera Raja Bali. Putri Pasai adalah puteri Sultan Pasai yang diambil isteri oleh Raja Majapahit yang bernama Dipati Hangrok. Pasangan Putri Pasai dengan Raja Majapahit ini telah memperoleh seorang putera. Kemudian Putri Pasai diberikan oleh Raja Majapahit kepada putera dari Raja Bali. Jadi Pangeran Giri saudara seibu dengan putera Raja Majapahit. Mangkubumi Majapahit masa itu adalaha Patih Maudara.

Kisah
Sunan Giri merupakan buah pernikahan dari Maulana Ishaq, seorang mubaligh Islam dari Asia Tengah, dengan Dewi Sekardadu, putri Menak Sembuyu penguasa wilayah Blambangan pada masa-masa akhir Majapahit. Namun kelahirannya dianggap telah membawa kutukan berupa wabah penyakit di wilayah tersebut. Dipaksa untuk membuang anaknya, Dewi Sekardadu menghanyutkannya ke laut.
Kemudian, bayi tersebut ditemukan oleh sekelompok awak kapal (pelaut) dan dibawa ke Gresik. Di Gresik, dia diadopsi oleh seorang saudagar perempuan pemilik kapal, Nyai Gede Pinatih. Karena ditemukan di laut, dia menamakan bayi tersebut Joko Samudra.
Ketika sudah cukup dewasa, Joko Samudra dibawa ibunya ke Surabaya untuk belajar agama kepada Sunan Ampel. Tak berapa lama setelah mengajarnya, Sunan Ampel mengetahui identitas sebenarnya dari murid kesayangannya itu. Kemudian, Sunan Ampel mengirimnya dan Makdhum Ibrahim (Sunan Bonang), untuk mendalami ajaran Islam di Pasai. Mereka diterima oleh Maulana Ishaq yang tak lain adalah ayah Joko Samudra. Di sinilah, Joko Samudra, yang ternyata bernama Raden Paku, mengetahui asal-muasal dan alasan mengapa dia dulu dibuang.

Dakwah dan kesenian
Makam Sunan Giri
Setelah tiga tahun berguru kepada ayahnya, Raden Paku atau lebih dikenal dengan Raden 'Ainul Yaqin kembali ke Jawa. Ia kemudian mendirikan sebuah pesantren giri di sebuah perbukitan di desa Sidomukti, Kebomas. Dalam bahasa Jawa, giri berarti gunung. Sejak itulah, ia dikenal masyarakat dengan sebutan Sunan Giri.
Pesantren Giri kemudian menjadi terkenal sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam di Jawa, bahkan pengaruhnya sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Pengaruh Giri terus berkembang sampai menjadi kerajaan kecil yang disebut Giri Kedaton, yang menguasai Gresik dan sekitarnya selama beberapa generasi sampai akhirnya ditumbangkan oleh Sultan Agung.
Terdapat beberapa karya seni tradisional Jawa yang sering dianggap berhubungkan dengan Sunan Giri, diantaranya adalah permainan-permainan anak seperti Jelungan, Lir-ilir dan Cublak Suweng; serta beberapa gending (lagu instrumental Jawa) seperti Asmaradana dan Pucung.

Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada tahun 1450 dengan nama Raden Said. Dia adalah putra adipati Tuban yang bernama Tumenggung Wilwatikta atau Raden Sahur. Nama lain Sunan Kalijaga antara lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat Sunan Kalijaga berdiam di sana, dia sering berendam di sungai (kali), atau jaga kali.
Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, dan mempunyai 3 putra: R. Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rakayuh dan Dewi Sofiah.
Ketika wafat, beliau dimakamkan di Desa Kadilangu, dekat kota Demak (Bintara). Makam ini hingga sekarang masih ramai diziarahi orang.

Sejarah Hidup

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang "tatal" (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung "sufistik berbasis salaf" -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Makam Sunan Kalijaga
Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Tidak mengherankan, ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Beberapa lagu suluk ciptaannya yang populer adalah Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul. Dialah menggagas baju takwa, perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu ("Petruk Jadi Raja"). Lanskap pusat kota berupa kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula dikonsep oleh Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga; di antaranya adalah adipati Pandanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang.

Sunan Muria
 
Sunan Muria
Sunan Muria dilahirkan dengan nama Raden Umar Said atau Raden Said. Menurut beberapa riwayat, dia adalah putra dari Sunan Kalijaga yang menikah dengan Dewi Soejinah, putri Sunan Ngudung. Nama Sunan Muria sendiri diperkirakan berasal dari nama gunung (Gunung Muria), yang terletak di sebelah utara kota Kudus, Jawa Tengah, tempat dia dimakamkan.
Sunan Muria aktif menyebarkan dan mengajarkan agama Islam didaerah pedesaan sepanjang Gunung Muria, sekitar 18 km sebelah utara Kudus. Selama berdakwah beliau menggunakan seni Gamelan. Beliau telah menciptakan gending Sinom dan Kinanti.
 
SAKTI MANDRAGUNA.
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuatfisiknya dapat dibuktikan dengan letak padepokannya yang terletak diatas gunung . Menurut pengalaman penulis jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai kemakam Sunan Muria (tidak kurang dari750 M).
Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik-turun, turun-naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat ,atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria.Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana. Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-murid diundang semua.Seperti : Sunan Muria, Sunan Kudus ,Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri .Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.
Setelah tamu berkumpul DewiRoroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan minuman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik rupawan.
Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar mekarnya.
Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu. Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempersona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar. Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin malu.
Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya. Roroyono masuk ke dalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak. Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masingmasing.
Tamu dari jauh terpaksa menginap dirumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya. Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disiramnya sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri. Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya di culik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya itu bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak,” Kata Sunan Muria.
Tetapi, ditengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.
“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa ?” tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak. Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua.
Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut di Ajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu.” Demikian kata Kapa.
“Aku masih sanggup merebutnya sendiri,” Ujar Sunan Muria.
“Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali.” kata Kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santrinya di Padepokan Gunung Muria. Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang. Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang.
Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Ditengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau !”Bentak Sunan Muria.
Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir ! Jangan menghalangi jalanku !” Hardik Pathak Warak.
“Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono !”
“Goblok! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri !Kini aku hendak mengejar mereka!” Umpat Pathak Warak.
“Untuk apa kau mengejar mereka?”
“Merebutnya kembali!” jawab Pathak Warak dengan sengit .
“Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku !”Ujar Sunan Muria sambil pasang kuda -kuda.
Tampabasa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda .Dia merangsak ke Arah Sunan Muria dengan jurus –jurus cakar harimau. Tapi dia bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian. Hanya dalam beberapa kali gebrakan ,Pathak Warak telah jatuh atau roboh ditanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan. Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana, kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria.
Upacara pernikahanpun segera dilaksanakan. Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang kehidupannya serba berkecukupan.
Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Pedepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan yang ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu.
Siang malam mereka tak dapat tidur.Wajah wanita itu senantiasa terbayang.Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apalagi.
Hanya penyesalan yang menghujam didada. Mengapa dulu mereka buru –buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang nenikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar lelaki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan mereka. (kemaluan).
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini Kapa dan Gentiiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka. Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, terjadilah pertempuran dasyart .Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya dipuncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari.
Tak seorangpun yang mengetahuinya. Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah ………. yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke Pulau Seprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang. Datuk diPulau Seprapat .Ini biasa dilakukannya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung.
Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akirnya tertarik dan masuk Islam secara suka rela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke pulau Seprapat itu tidak di sambut baik oleh Wiku Lodhang Datuk.
“Memalukan ! benar-benar nista perbuatanmu itu ! Cepat kembalikan istri kakanda seperguruanmu sendiri itu !” hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu ? Mengapa tidak kau bela ?” protes Kapa.
“Apa ? Membela perbuatan durjana ?” Bentak Wiku Lodhang Datuk.
“Sampai matipun aku takkan sudi membela kebejatan budi perkerti walau pelakunya Itu murid kusendiri!”
Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama.Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai ditempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek ditanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa. Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa.
Ternyata, serangan dengan mengerahkan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan. Karena Kapa mempergunakan aji pemungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu akhirnya merengut nyawa nya sendiri.
“Maafkan saya Tuan Wiku ….. “ ujar Sunan Muria agak menyesal.
“Tidak mengapa, sudah sepantasnya dia menerima hukuman ini. Menyesal aku telah memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan,” Guman sang Wiku.
Dengan langkah gontai sang Wiku mengangkat jenazah muridnya. Bagaimanapun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke padepokan dan hidup berbahagia.

Makam Sunan Muria
Makan Sunan Muria
Makam Sunan Muria (Syeh R. Umar Sa’id, salah satu dari Wali Songo / Wali Sembilan) menyatu dengan Masjid Sunan Muria terletak di salah satu puncak G. Muria. Makam Sunan Muria dapat dicapai dengan berjalan kaki melewati ± 700 trap/tangga/undak-undakan dari pintu gerbang di dekat lokasi parkir mobil/bus; atau dapat juga dicapai dengan naik sepeda motor ojek.
Makam Sunan Muria menjadi salah satu tujuan Wisata Ziarah. Makam ini sangat ramai dikunjungi peziarah yang berasal dari berbagai daerah, terutama pada saat Upacara “Buka Luwur” yang diselenggarakan setiap tanggal 6 Muharrom/Syuro. Dalam Upacara Buka Luwur ini, para peziarah berusaha mendapatkan “Luwur” (bekas kain penutup makam) yang konon dipercaya dapat membawa keberuntungan.

Sunan Gunung Jati

Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M, namun ada juga yang mengatakan bahwa beliau lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.
Sunan Gunung Jati

Orang tua

 Ayah
 Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar tahun 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar.
Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Maulana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Maulana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramaut, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husain.

Ibunda
Ibunda Sunan Gunung Jati adalah Nyai Rara Santang, seorang putri keturunan Kerajaan Sunda, anak dari Sri Baduga Maharaja, atau dikenal juga sebagai Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Nyai Subang Larang. Makam dari Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam klenteng di Pasar Bogor, berdekatan dengan pintu masuk Kebun Raya Bogor.

Silsilah
.Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah Al-Khan bin
.Sayyid 'Umadtuddin Abdullah Al-Khan bin
.Sayyid 'Ali Nuruddin Al-Khan @ 'Ali Nurul 'Alam bin
.Sayyid Syaikh Jumadil Qubro @ Jamaluddin Akbar Al-Khan bin
.Sayyid Ahmad Shah Jalal @ Ahmad Jalaludin Al-Khan bin
.Sayyid Abdullah Al-'Azhomatu Khan bin
.Sayyid Amir 'Abdul Malik Al-Muhajir (Nasrabad,India) bin
.Sayyid Alawi Ammil Faqih (Hadhramaut) bin
.Muhammad Sohib Mirbath (Hadhramaut)bin
.Sayyid Ali Kholi' Qosim bin
.Sayyid Alawi Ats-Tsani bin
.Sayyid Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
.Sayyid Alawi Awwal bin
.Sayyid Al-Imam 'Ubaidillah bin
.Ahmad al-Muhajir bin
.Sayyid 'Isa Naqib Ar-Rumi bin
.Sayyid Muhammad An-Naqib bin
.Sayyid Al-Imam Ali Uradhi bin
.Sayyidina Ja'far As-Sodiq bin
.Sayyidina Muhammad Al Baqir bin
.Sayyidina 'Ali Zainal 'Abidin bin
.Al-Imam Sayyidina Hussain
Al-Husain putera Ali bin Abu Tholib dan Fatimah Az-Zahro binti Muhammad

Silsilah dari Raja Pajajaran

.Sunan Gunung Jati @ Syarif Hidayatullah
.Rara Santang (Syarifah Muda'im)
.Prabu Jaya Dewata @ Raden Pamanah Rasa @ Prabu Siliwangi II
.Prabu Dewa Niskala (Raja Galuh/Kawali)
.Niskala Wastu Kancana @ Prabu Siliwangi I
.Prabu Linggabuana @ Prabu Wangi (Raja yang tewas di Bubat)

Ibu
Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Pangeran Walangsungsang bergelar Cakrabuwana / Cakrabumi atau Mbah Kuwu Cirebon Girang yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang bisa kita temui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.

Pertemuan orang tuanya
Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.

Perjalanan Hidup

Proses belajar
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji untuk umat Islam. Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuwana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setelah Uwaknya wafat.

Pernikahan
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.

Kesultanan Demak
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa. Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon. Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di P. Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.

Gangguan proses Islamisasi
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara. Tentang personaliti dari Syarif Hidayat yang banyak dilukiskan sebagai seorang Ulama kharismatik, dalam beberapa riwayat yang kuat, memiliki peranan penting dalam pengadilan Syekh Siti Jenar pada tahun 1508 di pelataran Masjid Demak. Ia ikut membimbing Ulama berperangai ganjil itu untuk menerima hukuman mati dengan lebih dulu melucuti ilmu kekebalan tubuhnya. Eksekusi yang dilakukan Sunan Kalijaga akhirnya berjalan baik, dan dengan wafatnya Syekh Siti Jenar, maka salah satu duri dalam daging di Kesultana Demak telah tercabut. Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan. Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di P. Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511. Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di P. Jawa. Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur. Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di P. Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam. Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521. Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah. Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.

Makam Sunan Gunung Jati
Perundingan Yang Sangat Menentukan
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya Pakuan Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda pada tahun 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi. Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang. Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar. Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan. Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan. Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji. Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.

1 komentar:

  1. Syeh Ibrahim As-Samarqand di Jawa dikenal dengan Syeh Ibrahim Asmorokondi dengan Maulana Malik Ibrahim itu sosok berbeda.

    Syeh Ibrahim Asmorokondi makamnya didesa Gisikharjo, Tuban.

    Maulana Malik Ibrahim makamnya di Leran, Gresik.

    Ayah Sunan Ampel itu Syeh Ibrahim Asmorokondi.

    Ini kesalahan fatal yang terlanjur menyebar dimana-mana...

    BalasHapus