Reruntuhan Candi di Gunung Penanggungan
(untuk Gunung Penanggungan kenapa banyak sekali terdapat candi dapat dibaca di hal2 awal.)
(untuk Gunung Penanggungan kenapa banyak sekali terdapat candi dapat dibaca di hal2 awal.)
Candi Bubrah
Hanya candi ini yang lumayan terawat. Meskipun sudah menjadi reruntuhan, namun sedikit bnayak bentuknya masih kelihatan. Terletak di daerah Klaten.
Candi Muaratakus
Candi Muara Takus adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Riau, Indonesia. Kompleks candi ini tepatnya terletak di desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto, Kabupaten Kampar atau jaraknya kurang lebih 135 kilometer dari Kota Pekanbaru, Riau. Jarak antara kompleks candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir Sungai Kampar Kanan.
Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter diluar arealnya terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampal ke pinggir sungai Kampar Kanan. Di dalam kompleks ini terdapat pula bangunan Candi Tua, Candi Bungsu dan Mahligai Stupa serta Palangka. Bahan bangunan candi terdiri dari batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sumber tempatan, batu bata untuk bangunan ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir kompleks candi. Bekas galian tanah untuk batu bata itu sampai saat ini dianggap sebagai tempat yang sangat dihormati penduduk. Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan. Cerita ini walaupun belum pasti kebenarannya memberikan gambaran bahwa pembangunan candi itu secara bergotong royong dan dilakukan oleh orang ramai.
Selain dari Candi Tua, Candi Bungsu, Mahligai Stupa dan Palangka, di dalam kompleks candi ini ditemukan pula gundukan yang diperkirakan sebagai tempat pembakaran tulang manusia. Diluar kompleks ini terdapat pula bangunan-bangunan (bekas) yang terbuat dari batu bata, yang belum dapat dipastikan jenis bangunannya.
Kompleks Candi Muara Takus, satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau. Candi yang bersifat Buddhistis ini merupakan bukti pernahnya agama Buddha berkembang di kawasan ini. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti kapan candi ini didirikan. Ada yang mengatakan abad kesebelas, ada yang mengatakan abad keempat, abad ketujuh, abad kesembilan dan sebagainya. Yang jelas kompleks candi ini merupakan peninggalan sejarah masa silam.
Di Pasemah, Batu Gajah "Kutukan" Si Pahit Lidah
Selasa, 10 Maret 2009 | 13:18 WIB
Si Pahit Lidah sungguh sakti kata-katanya. Setiap serapah sumpah yang keluar dari mulutnya yang berlidah pahit kontan akan membuat benda yang dikutuk menjadi batu. Begitu kira-kira dongeng lisan masyarakat Pasemah di kawasan Lahat dan Pagar Alam di Sumatera Selatan.
Kesaktian tokoh suci folklorik itu menjadi salah satu hiasan info populer perihal banyaknya arca batu dan batu bertatahkan torehan bentuk manusia dan binatang.
Cerita rakyat itu hanya imbuhan karena para pakar arkeologi sejak zaman penjajahan Belanda hingga kini masih terkagum- kagum dan takjub dengan adanya peninggalan budaya masa lampau, konon ditaksir sudah sejak beratus-ratus tahun silam.
Lokasi situs megalitik itu letaknya di alam bumi Pasemah Lahat dan Pagar Alam, sekitar 500-an kilometer dari Palembang, di dataran tinggi antara 750 meter-1.000 meter di kaki Gunung Dempo dari Pegunungan Bukit Barisan dan daerah aliran hulu Sungai Musi dan anak-anak sungainya.
Ahli arkeologi Belanda sejak EP Tombrink (1827), Ulmann (1850), LC Westernenk (1921), Th van der Hoop (1932) dan lainnya sejak dulu berusaha memecahkan misteri ilmiah keberadaan kompleks situs megalitik yang penuh serakan peninggalan arkeologi.
"Van den Hoop tercatat membawa batu bundar ini ke Palembang, sekitar tahun 1930-an tanpa penjelasan rinci," ujar Drs Nurhadi Rangkuti MSi (49), Kepala Balai Arkeologi Sumatera Bagian Selatan, akhir Februari lalu, saat menjelaskan batu besar berhiasan unik yang kini koleksi Museum Balaputradewa di kota Palembang.
Batu bundar macam telur besar pejal asal Kotoraya di Lahat mencolok sekali tatahan dan goresannya berbentuk gajah dan manusia. Perhatikan hiasan pahatannya, menggambarkan seorang manusia sedang menggapit seekor gajah. Tokoh itu mengenakan tutup kepala macam ketopong, telinganya mengenakan semacam anting dan mengenakan juga kalung leher. Kakinya mengenakan gelang kaki yang diduga berbahan logam. Di punggung manusia itu ada sebentuk nekara, tetapi wajahnya berbibir tebal, hidung pesek dan pendek, mata lonjong dan badannya terkesan bungkuk. Di pinggangnya terdapat senjata tajam, ujar Nurhadi yang mengaku belum pernah mengukur rinci besar dan bobot batu andesit itu.
"Dari ujung belalai sampai ke ekor gajahnya, sekitar 2,7 meter. Di balik relief gajah ini, ada pula bentuk seekor babi bertaring panjang dengan dua tokoh manusia."
Peninggalan tradisi megalitik itu amat terkenal di dunia kajian arkeologi karena, selain diduga dari masa prasejarah, tradisi batu besar itu pun berlanjut sampai kini. Bentuk peninggalan megalitik lainnya di wilayah Pasemah, selain batu gajah dan beberapa arca besar lainnya yang kini ada di Palembang, di Pagar Alam juga masih banyak peninggalan arkeologi berupa arca batu besar, alat-alat batu, tembikar, bilik batu dan menhir.
Khususnya di situs bilik batu, terdapat lukisan menggambarkan manusia sedang menggamit seekor kerbau dengan warna merah bata, hitam, dan kuning oker. Selain itu, juga ada lukisan aneka bentuk lukisan manusia, binatang, dan burung dengan kombinasi warna merah, kuning, putih, dan hitam.
"Seluruh peninggalan budaya prasejarah itu memberikan informasi bahwa pada masa lampau di daerah hulu Sungai Musi sudah terdapat hunian awal manusia, di daerah tepian sungai pada bidang tanah yang tinggi. Hunian yang lebih sedikit maju ditemukan di daerah kaki Gunung Dempo di sekitar kota Pagar Alam sekarang. Di daerah ini ditemukan banyak sekali arca megalit dan bilik-bilik batu yang berhiaskan lukisan...," tulis arkeolog Bambang Budi Utomo (Kompas , 26 Agustus 2005).
Obyek studi
Sejak zamannya Ulman, peneliti zaman klasik itu selalu menghubungkan seni hias yang ada dengan budaya Hindu. Bahkan, Tombrik tahun 1872 menuliskan laporan Hindoe Monumenten in de Bovenlanden van Palembang, als van Geschiedkundig Onderzoek.
Kesimpulan sementara budaya Hindu itu kemudian dibahas lebih tajam pada buku disertasi karya ANJ Th van der Hoop, Megalithic Remains in South Sumatra, 1932.
Saat itulah situs di Pasemah itu terkenal sebagai situs megalitik di Sumsel, berikut penerbitan Megalithische Oudheden in Zuid- Sumatra , seraya mengakhiri debat ilmiah perihal pengaruh Hindu.
Wujud manusia biasanya dengan tubuh tambun, berikut bentuk tangan, kaki, perut, dan leher yang gemuk. Umumnya badan manusia itu membungkuk dengan kepala berketopong menghadap ke depan atau agak menengadah.
"Bentuk lainnya ada juga tokoh manusia menggamit seekor kerbau selain gajah. Ada teori klasik yang menyebutkan kalau gajah dan kerbau merupakan hewan tunggangan, tetapi debat dan kilah ilmiah arkeologis itu kini belum dilanjutkan dengan penelitian komprehensif, ujar Nurhadi yang mengakui instansinya tidak ada anggaran untuk studi megalit di Sumsel.
Sambil menyusuri takikan halus di batu besar itu, Nurhadi mengatakan kalau seni pahat megalitik itu amat mengagumkan. Torehan pahat, tatahan, pahatan permukaan batu pejal itu, dibuat amat halus dan proporsional, mengikuti bentuk dasar batu. Batu gajah yang diteliti Van der Hoop dan diboyong ke Palembang di zaman 70-an memiliki alasan tersendiri.
"Kami upayakan menemukan catatan lama soal kejadian itu karena tidak mungkin batu berton-ton beratnya itu diangkut tanpa maksud dan tujuan ilmiah," ucapnya.
Suasana Museum Balaputradewa di Palembang pagi hari itu ramai dikunjungi rombongan siswa SLTA. Seperti biasanya museum pemerintah, pelajar itu berjalan bebas tanpa ada bimbingan guru atau juru penerang dari museum. Batu gajah besar itu hanyalah batu tanpa pesan dan kesan ilmiahnya.
Kisah manusia dan gajah yang "dikutuk" Si Pahit Lidah menjadi batu kaku hanya menjadi pajangan koleksi biasa. Mungkin sekali waktu perlu ada tokoh "Si Manis Lidah" agar bisa menjelaskan latar belakang budaya luhur Sumsel dan kisah Si Pahit Lidah, sambil menjelaskan contoh ilmiah batu gajah yang misterius, tetapi serius!
Ni gan... kmaren sya smpet ke daerah cetho... lumayan nambah2 koleksi foto...
ni fotonya... maap ya kalo jelek... soalnya kamera HP...
wah cukup takjub juga dsana.... cetho ternyata bner2 mirip kaya komplek pelataran kraton,,, bisa diliat ada rumah2 juga disini... wah mantap.... bvagi yang suka berwisata juga sangat recommended!,, trus disana juga ada candi kethek sama pura saraswati... 2 obyek itu menyusul ya fotonya... belum diupload ke flickr... hehehehe...
Candi Kethek
Candi Kethek ini dibangunnya satu masa dengan candi cetho, sukuh, dan candi palanggatan.. dari semua candi yang saya pelajari dan langsung liat mungkin merupakan candi paling sederhana di Jawa tengah, berbentuk undak-undakan sebanyak 3 teras, disini juga terdapat arca kura-kura kecil, dan dibagian puncaknya terdapat semacam "rumah" sesajian sebagai bentuk rasa terimakasih kepada alam.
Candi kethek ini terletak di lereng Gunung Lawu, di Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Karanganyar (Jawa Tengah). Untuk mencapai candi ini kita harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 300 - 400 meter dari candi cetho, juga harus berbasah-basahan sedikit karena ngelewatin sungai kecil yang airnya jernih lengkap dengan temperatur nyaris 0 derajat!, bahkan kalo kita celupin kaki sekitar 5 menit bisa mati rasa kaki kita.
Bangunan candi ini menggunakan bahan utama batu gundul. Hanya satu ornamen yang ditemukan dalam sebuah batu berelief yang terletak di anak tangga terbawah menuju teras.
kata dosen Arkeologi UGM Dr Inajati Adrisijanti, dalam tradisi Hindu, kura- kura adalah simbol pelepasan. Bisa melepas roh dari jasad atau sikap untuk membersihkan diri.
ni foto candi ketheknya gan... langsung dari HP saya lho... he...
ni juga foto pemandangan yang kita bisa liat dari candi kethek.. viewnya gunung Lawu..MANTABS!
Candi - candi di Indrokilo banyak tapi semua nggak erawat dengan baik seperti Candi Mundi Sari
Candi Eyang Suprobowati
patung panji
Tempat bertapanya Bung Karno
gentong tempat tendon air
Dan banyak lagi candi - candi yang tidak erawat dengan baik, selain itu puing - puing candi banyak yang dijadikan tembok / plengsengan
dan masih banyak lagi uing - puing lain.
Konon katanya juru kunci Indrokilo, Candi2 di sini kebanyak memakai gaya Punden Berundak, yang didalamnya ada patung - patung seperti, patung panji, patung suprabawati, patung mintaraga ( arjuna ) dan patung Bathara Guru ( hilang pada zaman Belanda ).
Dan yang disayangkan lagi tidak ada penanganan langsung terhadap warisan nenek moyang ini, meski Indrokilo dijadikan Pusat Agama Budha Jawi Wisnu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar