Dieng yang saya kenal barulah sebatas kawasan candi dan perbukitan yang kini gundul. Dieng Plateau yang namanya sudah mendunia itu terletak di sebelah mana, saya belum pernah mengunjunginya. Yang tersisa pada ingatan dari dua kali bertandang, hanyalah sebuah kontras. Sunrise yang memesona pada hari gelap dan kengerian saat mentari menerangi perbukitan berwarna kecoklatan.
Maka, ketika Tyovan dan teman-teman blogger Wonosobo mengirim undangan dengan iming-iming akan diajak wisata ke Dieng, segera saya mengiyakan meski dengan perasan campur aduk. Antara rasa suka karena akan bersua kembali dengan gradasi warna ketika matahari terbit, lalu segera berubah jika teringat pada luka alam.
Lalu lalang petani memikul kentang hasil panen dan lahan kecoklatan yang ditinggalkan, kembali menggiring ingatan saya pada kematian banyak orang di sepanjang sungai yang berhulu di kawasan itu. Air bah bisa tiba-tiba muntah, sementara jumlah sumber air terus menyusut, hingga tinggal setengah dari yang masih menyemburkan air dua dasawarsa silam.
Gerakan Wonosobo Menanam sudah dicanangkan pemerintah daerah setempat sejak beberapa tahun silam. Respon khalayak cukup menggembirakan, namun tetap saja belum sanggup menerbitkan optimisme. Kesadaran penduduk sekitar untuk menghijaukan kembali kawasan penyangga sumber-sumber air yang meliputi sedikitnya tujuh kabupaten itu, masih jauh dari memadai. Tanaman keras masih langka, digantikan tanaman kentang, yang kendati bernilai ekonomis tinggi (karena itu masyarakat tampak lebih ‘sejahtera’) namun ternyata perusak struktur tanah sehingga menjadi penyebab utama tanah longsor.
Dieng adalah Dieng. Keunikannya telah mengundang banyak wisatawan mancanegara, utamanya Belanda, berkunjung ke sana. Beberapa kali saya menjumpai mereka yang menginap di Hotel Kresna, jauh-jauh datang ke Dieng bersama anak-cucunya. Entah memori apa yang membawanya melanglang buana. Mungkin, generasi tertua mereka yang biasa datang berombongan itu adalah sisa-sisa pegawai atau mungkin tentara kolonial Belanda dulu.
Hamparan kebun teh dengan kualitas (konon) terbaik di dunia yang terletak di bawah Dieng, mungkin dulunya merupakan tempat pelesiran mereka di masa muda. Karena itu, mereka ingin mengenang kembali masa-masa sebelumnya, seperti saya teringat datang kembali dan memotret sunrise. Ya, semacam romantisme kaum tua. Mungkin.
Ke Dieng, saya ingin bisa menjumpai kaum semi-rasta. Anak-anak berambut gimbal, yang pantang keramas kecuali pada hari-hari yang dikeramatkan, yang modelnya ditiru kaum rasta atau rastafara sahabat Bob Marley, fans berat Tony Q atau Steven Coconut. Yang pasti, anak-anak gimbal di sana bukan penghisap asap cimeng.
Dua telaga dengan warna air berbeda atau dikenal sengan sebutan Telaga Warna, juga ingin kembali kusambangi. Tiga tahun silam, saya tak berhasil membuat foto yang layak dipamerkan, walau sekadar kepada kerabat dekat. Namun soal teh dan mi ongklok, saya sudah terbiasa menikmatinya. Juga carica, jenis pepaya yang konon hanya ada di dataran tinggi Dieng.
Sebagai lelaki berusia, tentu saja saya tergoda pada khasiat daun purwoceng. Daun yang bisa diseduh layaknya teh itu cukup bisa diandalkan untuk menambah bekal mental kelelakian ketika harus berhadapan dengan lawan tanding, yang bisa saja perempuan, atau karena selera dan pembawaan, terpaksa menghadapi lelaki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar