Kamis, 18 Februari 2010

TARI SINDUNG LENGGER KHAS WONOSOBO





Rasanya belum puas kalau kita jalan-jalan ke Wonosobo hanya melihat wisata alam dan kulinernya saja. Tapi terasa lebih lengkap kalau kita bisa menenal budaya yang ada di kota dingin tersebut. Wonosobo terkenal dengan kawasannya yang begitu indah dan sejuk. Sebut saja salah satunya adalah dieng. Dari dataran tinggi itu ternyata memiliki cita rasa wisata yang khas, mulai dari alam, kuliner, religi, dan yang tak boleh terlewatkan adalah wisaa budayanya. Ada ratusan bahkan ribuan budaya yang ada di Wonosobo, yang terkenal sampai ke pelosok negeri. Tari Lengger misalnya.

Dari namanya saja orang sudah bisa menerka bahwa tarian ini menggunakan topeng. Tapi siapa yang menyangka bila penarinya yang berpakaian tradisional wanita ini ternyata pria. Ternyata keberadaan pria dalam tari ini memiliki filosofi dan tujuan tertentu. Tarian Topeng Lengger termasuk tarian tradisional yang hampir satu abad diperkenalkan di Jawa Tengah. Awalnya tarian ini dirintis di Dusun Giyanti oleh tokoh kesenian tradisional dari Desa Kecis, Kecamatan Selomerto, yaitu Bapak Gondhowinangun pada 1910.

Selanjutnya sekitar tahun 60-an tarian ini dikembangkan lagi oleh Alm. Ki Hadi Soewarno. Pengembangan ini yang membuat tari Topeng Lengger terlihat lebih atraktif dibanding gaya tari Solo atau Yogya yang halus, bahkan cenderung tampak seperti gaya tari Jawa Timur karena konon versi ceritanya berasal dari Kerajaan Kediri. Menurut tokoh dan seniman Desa Giyanti, Lengger berasal dari Bahasa Jawa "elinga ngger" yang berarti, "ingatlah nak". Tari ini untuk memberi pesan agar setiap orang harus selalu ingat kepada Sang Pencipta dan berbuat baik kepada sesama, seperti dalam adegan tarinya pada saat meraup mukanya. Itu menggambarkan bahwa kita harus selalu ingat untuk melakukan penyucian diri ( wudhu ) sebelum melakukan kegiatan yang sifatnya positif. Ada juga yang gerakannya seolah-olah penari menyayangi satu sama lain.

Menurut kisahnya, ta
ri ini berawal ketika Raja Brawijaya yang kehilangan putrinya, Dewi Sekartaji, mengadakan sayembara untuk memberikan penghargaan bagi siapa pun yang bisa menemukan sang putri. Bila pria yang menemukan akan dijadikan suami sang putri dan jika wanita maka akan dijadikan saudara.

Sayembara yang dikuti oleh banyak ksatria ini akhirnya tinggal menyisakan dua peserta yaitu Raden Panji Asmoro Bangun yang menyamar dengan nam
a Joko Kembang Kuning dari Kerajaan Jenggala. Satu lagi, Prabu Klono dari Kerajaan Sebrang, merupakan orang yang menyebabkan sang putri kabur karena sang raja menjodohkannya.

Dalam pencarian tersebut, Joko Kembang Kuning yang disertai pengawalnya menyamar sebagai penari keliling yang berpindah-pindah dari satu desa ke desa lain. Lakon penarinya adalah seorang pria yang memakai topeng dan berpakaian wanita dengan diiringi alat musik seadanya. Ternyata dalam setiap pementasannya tari ini mendapat sambutan yang meriah. Sehingga dinamai Lengger, yang berasal dari kata ledek (penari) dan ger atau geger (ramai atau gempar).

Hingga di suatu desa, tari Lengger ini berhasil menarik perhatian Putri Dewi Sekartaji dari persembunyiannya. Namun pada saat yang bersamaan Prabu Klono juga telah mengetahui
keberadaan Sang Putri, mengutus kakaknya Retno Tenggaron yang disertai prajurit wanita untuk melamar Dewi Sekartaji. Namun lamaran itu ditolak Dewi sehingga terjadilah perkelahian dan Retno Tenggaron yang dimenangi Sang Putri.

Sementara Prabu Klono dan Joko Kembang Kuning tetap menuntut haknya pada raja. Hingga akhirnya raja memutuskan agar kedua kontestan itu untuk bertarung. Dalam pertarungan, Joko Kembang Kuning yang diwakili oleh Ksatria Tawang Alun berhasil menewaskan Prabu Klono. Di akhir kisah Joko Kembang Kuning dan Dewi Sekartaji menikah dengan pestanya disemarakkan dengan hiburan Tari Topeng Lengger.

Menurut seniman Lengger Wonosobo dari Sanggar Setyo Langen Budoyo, Dwi Pranyoto, Lengger yang pada jaman Kerajaan Hindu Brawijaya merupakan Ledek Geger (penari yang mengundang keramaian), mengalami perkembangan saat kerajaan-kerajaan Islam mulai berdiri. Adalah Sunan Kali Jaga yang merupakan tokoh wali yang sangat cinta terhadap seni yang membawakan Tari Lengger sebagai Syiar Islam.

Tari Lengger yang dalam perkembangannya sempat berkonotasi negatif karena mulai dikemas untuk memancing syahwat dan penontonnya pun biasa menikmati tarian ini sambil mabuk. "Melihat kondisi ini Sunan Kalijaga menyamar sebagai Ronggeng yang memakai topeng dan menari Lengger, namun ketika penonton sudah terbuai, maka Sunan Kalijaga melepas topengnya." jelas pria yang
lebih senang disapa Dwi ini.

Dengan cara ini Sunan Kalijaga mengajarkan budi pekerti, dan Tari Lengger yang tadinya negatif menjadi sarana dakwah sehingga Lengger sampai saat ini dikenal dengan sebutan "elinga ngger" sebuah tarian yang mengajarkan untuk ingat kepada Tuhan.

Tari Topeng Lengger terus bertahan sampai saat ini, tarian ini biasa ditarikan oleh dua orang, yang pria memakai topeng dan yang wanita memakai pakaian tradisional kebesaran layaknya putri Jawa pada masa lampau. Penari menarikan ini sekitar 10 menit dengan diiringi dengan alunan musik gambang, saron, kendang, gong, dan sebagainya.

Bahkan beberapa seniman tari mencoba menciptakan tarian baru yang mengadopsi dari Tari Topeng Lengger. Salah satunya Kenyo Lengger, tarian yang diperkenalkan oleh Sanggar Ngesti Laras. Menurut pendirinya Mulyani, Kenyo Lengger yang ditarikan oleh 5 orang wanita yang memakai kacamata hitam. "Tarian ini mengandung filosofi bahwa kita sebagai manusia jangan terlena dengan silaunya kenikmatan dunia, itu mengapa memakai kacamata hitam," jelas Mulyani. Menurutnya lagi, yang membuat manusia terlena pada dunia adalah tahta, wanita, dan harta, bahkan tutur kata. Oleh karena itu seorang penari lengger benar harus menjaga semua tingkah laku gerakannya.

Saat ini Tari Lengger biasa dipentaskan setiap ada acara hajatan, hari besar, syukuran, dan pesta rakyat lainnya. Bahkan untuk lebih diminati masyarakat, Tari Lengger juga bisa menyajikan atraksi yang berbau magis seperti kuda lumping tergantung keinginan pemesan. Kadang dalam adegan tari ini salah seorang atau lebih bisa kerasukan roh halus atau bisa dikatakan ndadi atau mendem (kesurupan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar